Pada Masa Pemerintahan Belanda, Desa Tlogomas yang awalnya bernama Desa Guyangan masuk dalam District Dau Afdeling Malang sesuai dengan staatblad No.16 tahun 1819. Perubahan nama dari nama “Guyangan” menjadi “Telogomas” yang kemudian perkembangannya dikenal dengan “Tlogomas” tanpa huruf “e”. Hal tersebut dapat di ketahui dalam peta yang dibuat oleh Bosch pada tahun 1923/1924, berkenaan dengan daerah Dinoyo-Merjosari, nama Tlogomas belum ada. Dalam peta tersebut hanya tertera nama-nama Ngelo, Karuman, Guyangan, Pelandungan (nama-nama ini sekarang merupakan wilayah di kelurahan Tlogomas), Marjoyo, Merjosari, Dinoyo, dan Ketawanggede. Diduga nama Tlogomas terbentuk sekitar tahun 1930-an, ketika masyarakat sering menemukan benda-benda dari emas di sekitar telaga (sekarang tandon air atau PDAM Tlogomas), sehingga daerah temuan tersebut dekenal dengan nama “Telogo Mas”.

Nama-nama dukuh karuman, Guyangan, Pelandungan ternyata merupakan dukuh kuno (tercantum dalam prasasti), kecuali dukuh Ngelo berasal dari nama sebuah pohon yang ada di wilayah tersebut. Dari sekian nama dukuh yang ada di wilayah Tlogomas, ternyata dukuh Wurandungan atau Pelandungan bahkan sekarang disebut sebagai Kelandungan adalah sebuah wilayah desa yang zaman dahulu pernah mendapat Hak Swatantra dari Raja. sedangkan dukuh  yang lain hanya diberikan sebatas sebagai saksi dalam penetapan sebuah tanah perdikan.

Pada masa kerajaan Mataram kuno di Jawa Timur yaitu pada masa pemerintahan Raja Sindok , Desa Wurandungan dijadikan tempat suci yang utama. Disebutkan dalam prasasti Wurandungan tahun 948 M bahwa Raja Sindok menetapkan Desa Wurandungan sebagai daerah swatantra secara administratif, Prasasti Wurandungan secara lengkap tertulis sebagai berikut TAHUN 869 SAKA BULAN PHALGUNA WUKU KULAWU SWATIDEWATA KUWERAMANDALA WAWAKARANA INDRAPARWWESA BHARANINAKSATRA atau ekuivalen dengan tanggal 23 Februari 948 M hari Rabu Wage Tungle. Atas dasar hal tersebut dapat dikatakan bahwa Desa Wurandungan secara administratif melaksanakan pengelolaan desa secara otonom/swatantra sejak tanggal 23 Februari 948 M hari Rabu Tungle. Berdasarkan Prasasti tersebut akhirnya disepakati oleh masyarakat bahwa tanggal 23 februari ditetapkan sebagai hari jadi Desa Tlogomas.

Desa Tlogomas sebagai bagian dari wilayah Indonesia, kaya akan peradaban kehidupan yang sejak jaman nenek moyang hingga kini masih bdi pelihara dan dilaksanakan dalam kehidupan sehari-hari semua itu membawa corak dan warna atau kebhinekaan dalam kehidupan Pemerintah Desa.

Peradaban yang agung hasil karya nenek moyang, telah dipelihara dan dilestarikan oleh warga Tlogomas sampai saat ini. Hal ini terlihat adanya situs-situs peninggalan sejarah yang tetap kokoh berdiri dan terpelihara dengan baik. Seperti situs Watu Gong yang berada di wilayah RW III, situs Karuman di RW V, situs makam Mbah Ider di RW VIII dan benda-benda bersejarah lainnya seperti lingga, batu gong tunggal yang banyak tersebar hampir di semua wilayah RW yang ada di Desa Tlogomas

Selain dari pada itu, warisan budaya yang masih hidup di tengah-tengah masyarakat adalah budaya hidup Gotong Royong. Salah satu budaya hidup gotong royong yang masih dipelihara oleh masyarakat Tlogomas sampai sekarang adalah “SAYAN” (bahasa jawa). SAYAN artinya masyarakat dengan tulus ikhlas tanpa pamrih, secara bersama-sama membantu salah satu anggotanya yang berhajat mendirikan rumah atau sebuah bangunan untuk sarana umum. Dalam budaya SAYAN , biasanya warga laki-laki membantu pekerjaan sesuai dengan keahlian masing-masing sedangkan warga perempuan atau ibu-ibu membantu menyiapkan “Pulurane” atau konsumsinya.

Budaya salaing membantu antara masyarakat yang dikenal dengan istilah “SINOMAN” dan “BIODO”  juga masih marak dipelihara oleh warga Tlogomas. SINOMAN  adalah istilah untuk laki-laki sedangkan BIODO  untuk istilah perempuan, yang secara sukarela membantu berupa tenaga kerja untuk menyiapkan segala sesuatu yang di perlukan pada acara selamatan, temanten (pernikahan) atau khitan yang diadakan oleh salah satu warganya.

Budaya “Gugur Gunung” adalah istilah yang dipakai dalam pemerintah desa yaitu pamong desa atau perangkat desa memerintahkan kepada warganya untuk melakukan gugur gunung atau kerja bakti massal misalnya membersihkan areal di sekitar makam, pada umumnya dilaksanakan menjelang datangnya bulan suci Ramadhan.

Budaya ini sampai sat ini tetap di uri-uri  atau di pertahankan oleh masyarakat dan pemerintah desa Tlogomas, khususnya di wilayah RW II dan RW III adalah “Upacara Bersih Desa” atau “Barian“. Pada acara tersebut warga mengadakan perayaan dan selamatan sebagai bentuk rasa syukur terhadap Tuhan Yang Maha Esa atas berkah dan nikmat yang telah diberikanNya. Biasanya kegiatan tersebut diadakan pada tanggal 1 bulan Sura tahun baru Saka yang dalam  tahun Qomariyah (Hijriyah) bertepatan dengan tanggal 1 Muharram.

Dalam wilayah Desa Tlogomas ada bagian wilayah tertentu yang dikenal dengan istilah “Lingkungan“. Dalam satu lingkungan bisa terdiri dari beberapa wilayah RW. Secara geografis Desa Tlogomas terbagi atas tiga lingkungan, yaitu lingkungan Guyangan meliputi RWI, RW II, RW III, dan RW VIII lingkungan Karuman meliputi RW IV, RW V dan RW VI,sedangkan lingkungan Ngelo meliputi RW VII dan RW IX. Di setiap lingkungan tersebut terdapat lembaga-lembaga sosial kemasyarakatan seperti Rukun Kematian, Paguyuban RTdan RW yang setiap bulannya mengadakan pertemuan secara bergilir di rumah-rumah anggota paguyuban. Sarana pertemuan tersebut sering di jadikan media komunikasi antara warga dengan perangkat Pemerintah Desa. Sedangkan di Tingkat Desa terdapat lembaga-lembaga kemasyarakatan yang dibentuk oleh masyarakat Desa, seperti Lembaga Keswadayaan Masyarakat Desa (LKMD), Pemberdayaan Kesejahtraan Keluarga (PKK) dan Karang Taruna sebagai mitra kerja Pemerintah Desa dalam menjalankan program-program Pemerintah Desa.
Berikut ini nama-nama Kepala Desa Tlogomas sebelum dan  sesudah masuk ke wilayah Kotamadya Tingkat I Malang.

  1. Lasimun Karyonoto (masa jabatan sampai tahun 1980).
  2. H. Sapawi (masa jabatan tahun 1980-1990)
  3. Supriyanto,S.Sos (masa jabatan tahun 1990-2000).